Berikut ini merupakan Analisis cerpen beserta unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik .
Perjalanan Terindah
Perjalanan Terindah
Karya : Zulfa Fadila
Di kesunyian, alarm berbunyi. Teralunkan musik merdu,
terdengar bersemangat berjudul Sang Pemimpi. Mataku sedikit terbuka, pertanda
mimpi indah malam ini telah usai. Jam menunjukkan pukul 03.00. Aku tetap terbaring,
bukan berarti malas. Kuhayati setiap lirik musik yang kudengarkan, penuh dengan
makna. Aku masih terbaring, kukumpulkan semangatku saat itu. Musik reff
terdengar, semangatku semakin berkumpul. Ku terbangun dan langsung kubuka jendela kamarku. Angin
pagi berhembus menyegarkan, walaupun memang masih gelap. Bibir ini berbisik,
ucapan do’a tanda syukurku atas dibangunkannya jasad ini dari alam yang tak
kukenal. Aku siap melewati hari ini.
Aku berjalan menuju ruang makan,
kulihat ibu telah menyiapkan makan sahur. Hari ini hari senin, sudah menjadi
amalan andalan kami untuk berpuasa setiap hari senin dan kamis. Ku tersenyum
pada ibu, kuteruskan langkahku untuk membasuh muka, menyegarkan wajah kusutku
seusai bangun tidur. Berdua saja kami duduk di depan meja makan, aku dan ibuku.
“Sudah siapkah semua barangnya,
Nak?” tanya ibuku.
“Tentu saja sudah, Bu. Tinggal
berangkat saja”, jawabku.
“Hati-hati ya kalau sudah di sana.
Terus hubungi ibu, takut terjadi apa-apa” ucap ibuku, sedikit khawatir.
“Tenang saja, Bu. Lily bisa jaga
diri kok, insya Allah”, ujarku.
“Baguslah kalau begitu. Seusai
shalat subuh, ayah akan langsung mengantarmu ke stasiun”.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk.
Kulanjutkan membereskan apa saja yang harus ku bawa. Aku mungkin terlalu
keasyikan, setelah shalat subuh aku malah terdiam dan merenung. Bersama
kesunyian aku membayangkan, mimpiku ternyata bisa terwujud. Dengan keadaan
keluarga yang apa adanya, aku bisa kuliah tanpa mengeluarkan biaya sedikitpun.
Di dalam lamunanku, aku terkejut.
“Neng!” ucap ayahku dengan kerasnya.
“Iya Ayah?” jawabku kaget.
“Ayo, sudah pukul lima. Nanti terlambat masuk kereta”
ucap ayahku cemas.
“Oh, baiklah Ayah”.
Dengan menaiki motor yang begitu khas suaranya, kami
mulai berangkat. Ibu tak ikut mengantarku, katanya dia harus menjaga rumah.
Lagipula tak bisa bila harus menaiki motor
dengan tiga orang penumpang sambil membawa barang yang cukup banyak,
sungguh hal yang mustahil.
“Jaga diri baik-baik, Nak. Banyak berdo’a. Tetap
semangat, jangan lupa ibadahnya”, nasehat dari ibuku.
“Baik, Bu. Do’akan saja Lily semoga semuanya bisa
barakah bagi kehidupan Lily” ucapku, dengan mata yang cukup berkaca-kaca.
“Iya, Nak. Ibu pasti akan selalu mendo’akanmu. Kalau
begitu lekaslah, takut ketinggalan kereta”, ucap ibuku dengan air matanya yang
menetes.
“Kalau begitu kami berangkat dulu, Bu.
Assalamu’alaikum”, ucap ayahku.
“Wa’alaikumsalam”, jawab ibuku.
Aku pun bersalaman dengan ibu, begitupun ayah. Air
mata membasahi pipi ibu. Aku mengerti, memang seperti itulah perasaan seorang
ibu. Air mataku pun ikut terjatuh, hatiku luluh. Segera ku bergegas menaiki
motor sambil menghapuskan air mataku. Begitu dinginnya subuh itu. Namun
untungnya aku tetap merasakan kehangatan, dari jaket pemberian ibuku dan dari
hangatnya punggung ayahku.
Kereta beberapa menit lagi berangkat. Aku berlari
dengan kencangnya bersama ayahku, membawa barang yang cukup berat. Tepat di
depan pintu kereta aku berdiri.
“Hati-hati ya Nak. Kalau ada apa-apa hubungi ayah atau
ibu. Banyak berdo’a di jalan. Musafir do’anya sangat mustajab. Kabari ayah
kalau sudah sampai”. ucap ayahku dengan lembutnya.
“Baik, Ayah. Doakan Lily ya”, ucapku tersenyum, namun
dengan air mata yang menetes.
Ayah mengangguk. Aku masih tetap tersenyum. Tepat saat
itu, kereta mulai berjalan. Aku pun masuk, kucari tempat duduk yang masih
kosong, tepat di pinggir jendela. Kulihat ayahku masih berdiri, menunggu
keberangkatan kereta hingga sampai jauhnya. Aku masih tetap tersenyum bersama
linangan air mata. Ayahku, ibuku, dan juga desa yang kucintai ini pasti akan
amat kurindukan. Di dalam hati aku semakin bertekad, aku harus bisa menggapai
cita-citaku dengan baik. Ikhtiar dan do’a, sudah pasti harus selalu kulakukan.
Perjalanan di dalam kereta memang amat membuatku
nyaman, menurutku. Apalagi dengan duduk tepat di pinggir jendela. Di pagi hari
yang cerah, pemandangan yang indah tentu sudah sangat cukup untuk menyegarkan
penglihatan ini. Asri, indah nan permai. Inilah salah satu tanda kekuasaanNya.
Sesekali ku beranjak dari tempat dudukku, melangkah menuju pintu kereta. Angin
berhembus, menerpa hijab biru mudaku, menggerakkan bibirku hingga akhirnya
dapat tersenyum refleks, tanpa sadar. Di depan mataku terlihat sawah yang
terhampar luas. Langit biru, bersama para awan dan juga burung yang beterbangan
semakin memperindah suasana ini.
“Maaf Mba, bisakah Anda menyingkir dulu dari sini?”,
ucap seorang lelaki berbaju merah dengan celana jinsnya yang begitu rapi,
ditambah dengan sepatu ala boybandnya berwarna matching dengan kaos merahnya.
Aku sedikit ilfeel dengan gayanya
saat berbicara itu. Ditambah gaya pakaiannya yang seperti orang kota. Memang
tampan, namun raut wajahnya seperti orang yang angkuh. Itulah pemikiranku,
sebagai seseorang yang sederhana.
“Kalau ga mau, gimana?”, ucapku sinis.
“Maaf mba, hati-hati kalau berdiri di situ,
berbahaya”.
Aku terdiam. Di hatiku terjadi perdebatan. Aku
menganggapnya orang kota yang angkuh, namun setelah kulihat ternyata ucapannya
terasa lembut. Aku bingung, namun saat itu aku lebih memilih sinis kembali padanya.
Orang kota dengan gaya seperti itu pastilah sombong, dan terkadang selalu
menyakiti hati orang-orang yang sederhana, apalagi perempuan sepertiku. Bila
dia memang berlaku baik padaku, dia pasti memiliki maksud yang tidak baik.
Seperti apa yang dikatakan orang-orang di sekitarku, dan juga sesuai dengan
pengalaman pribadiku, bahwa laki-laki yang terlihat angkuh namun memiliki wajah
yang tampan, pastilah dia selalu menyakiti hati seorang wanita.
Lelaki itu berkata “Maaf mba, berbahaya berdiri di
situ, saya hanya memberi tahu. Lagipula....”, aku memotong ucapannya.
“Maaf ya mas, kalau bahaya ya biar saja. Lagipula
berbahaya buat saya, bukan buat Mas!” ucapku semakin sinis.
“Tapi mba..”
“Tapi apa? Jangan paksa saya dong!” ucapku dengan
lebih sinis lagi.
“Maaf Mba, silakan jika mau tetap berdiri di situ.
Tapi...”, ucapannya dipotong lagi olehku.
“Tapi apa?” sentakku. Aku tahu ini tidak baik, tapi
aku tetap pada pendirianku yaitu berlaku sinis kepada laki-laki, apalagi yang
belum kukenal.
“Mohon maaf sekali Mba, saya mau lewat ke gerbong
sebelah. Saya sudah ditunggu oleh teman saya. Sebentar saja Mba, kalau saya
sudah lewat, silakan kalau Mba mau berdiri lagi di situ”, ucapnya dengan sopan.
Aku cukup malu sebenarnya. Dia begitu lembut padaku,
tapi aku malah menyentaknya. Akupun melangkah menjauhi pintu kereta itu dan
kembali ke tempat dudukku. Dia pun melewat.
“Makasih, Mba” ucap lelaki itu sambil tersenyum.
Aku tersenyum kecil. Aku pun melangkah, dalam hati aku
masih ingin tetap berdiri di sana. Kutengok ke arah belakangku, kulihat lelaki
itu malah berdiri di tempat dimana aku berdiri tadi kemudian tersenyum. Aku
sedikit kesal, kemudian akupun menghampirinya.
“Katanya mau lewat, nyatanya kamu malah berdiri di
situ!” teriakku padanya.
“Oh, iya maaf Mba. Cuma mau berdiri sebentar, sekarang
pun mau ke gerbong sebelah. sekali lagi maaf ya, Mba” ucapnya dengan begitu
ramah. Dia pun berjalan meninggalkan gerbong yang ku tempati, menuju gerbong
sebelah. Aku terdiam. Aku pun berdiri kembali di pintu kereta sambil melihat
pemandangan dari setiap jalan yang kulewati. Akupun dapat tersenyum kembali
dengan melihat semua itu.
Dari pagi sampai siang, gerbong yang ku tempati memang
penuh. Namun ternyata lama-kelamaan, penumpang satu persatu turun dari kereta.
Gerbong mulai kosong, maklumlah memang tujuan yang ku tuju adalah stasiun
pemberhentian akhir, jadi aku harus tetap duduk di kereta hingga stasiun akhir,
yaitu di Malang. Cukup sepi juga. Aku masih tetap asik melihat pemandangan
sambil duduk di kursi dekat jendela kereta. Aku merenung dan terkadang
tersenyum sendiri. Kulihat kembali lelaki berkaos merah tadi, duduk di dekat
pintu gerbong sambil memegang kamera SLRnya. Dia memotret segala yang ada di
sekitarnya, dan dia seperti memotret ke arahku. Rasa suudzon mulai muncul kembali
di dalam hatiku, sepertinya dia hendak mengambil fotoku. Bagaimana bisa aku
membiarkan seseorang yang tak kukenal mengambil foto wajahku. Aku pun beranjak
dari tempatku, dan langsung menghampirinya.
“Kamu mengambil foto-fotoku? Buat apa, kamu orang asing,
berani-beraninya mengambil fotoku!” ucapku dengan nada yang cukup tinggi. Dia
hanya terdiam. Aku pun merebut SLR di tangannya. Kulihat foto-foto yang tadi
dia ambil. Ternyata bukan fotoku, ada beberapa foto yang kulihat dan itu adalah
foto-foto pemandangan di sepanjang jalan yang telah dilewati. Seketika itu dia
merebut kembali SLRnya dengan wajah yang sinis. Aku amat tak berkutik waktu
itu. Dia sepertinya kesal padaku. Aku terdiam, aku merasa amat bersalah.
“Maaf, Mas”, ucapku. Tanpa melihat wajahnya, aku
langsung berlari ke tempat dudukku. Aku malu. Mengapa aku harus suudzon
kepadanya, ditambah lagi kejadian tadi pagi saat aku menyentaknya. Semakin ku
mengingatnya, semakin ku merasa bersalah padanya. Perjalanan masih jauh, aku
belum shalat dzuhur. Biarlah, mungkin nanti bisa diqashar. Kereta berhenti di
sebuah stasiun, menunggu penumpang yang akan segera masuk. Sesekali pengamen
dan juga para pedagang masuk. Seorang anak kecil datang menghampiri penumpang
dan memberikan amplop yang bertuliskan sesuatu.
Bapak/Ibu, mohon kasihani kami. Kami
belum makan, kami lapar. Mohon minta keikhlasannya. Semoga amalan Bapak/Ibu
diterima di sisi Allah, Amin.
Itulah kata-kata yang tertulis di amplop itu. Hati
kecil ini merenung, betapa kerasnya kehidupan mereka. Kulihat dompetku, tak
begitu banyak uang di sana. Kusisihkan sedikit saja, mungkin dapat membantu
mereka. Mereka tidak mungkin berbohong, kalaulah memang mereka berbohong, aku
yakin bahwa mereka membutuhkan uang dari orang lain. Sungguh hatiku tersentuh
melihat anak kecil itu.
Sesekali aku melihat ke ujung kereta, duduk seorang
lelaki berkaos merah tadi. Teringat kembali rasa bersalahku tadi. Aku hanya
diam. Walaupun begitu, aku masih tetap saja ingin berdiri di dekat pintu
kereta. Akupun berdiri kembali di sana, di dekatku duduk lelaki itu. Namun dia
tidak menolehku sedikitpun, dia sepertinya
marah padaku.Aku pun memakluminya bila dia bersikap seperti itu padaku.
Handphone ku bergetar, ku kira ada telepon dari ayah atau ibu, ternyata hanya
sms dari operator seluler. Aku terdiam kembali, aku lupa tidak mengisi pulsaku,
jadi aku hanya bisa menunggu telepon dari orang tuaku.
Aku kembali merenung, melamun. Itulah kebiasaanku di
waktu senggang, memikirkan berbagai hal, memberaikan segala fantasi yang ada di
benakku. Aku terkejut. Lelaki berkaos merah itu menghampiriku dan langsung
membawa handphone yang ku pegang. Dia berlari keluar dari gerbong kereta. Aku
refleks mengejarnya keluar. Dia tersenyum. Aku kelelahan, sambil berlari aku
berteriak.
“Hey kamu! Kembalikan handphoneku! Mau kau apakan
handphoneku. Heyy!”. Dia menoleh, kemudian tersenyum kembali. “Sini saja ambil,
kejar dong!”.
“Aku cape! Kamu siapa sih! Tolong jangan ambil hp itu.
Aku masih memerlukannya untuk menghubungi keluargaku. Heeeeey!”, teriakku dengan
lebih kencangnya lagi.
Dia malah berlari semakin kencang. Apa boleh buat,
akupun harus berlari dengan kencang pula. Tapi jangan diremehkan, akupun bisa
berlari dengan kencang, maklum juara estapet se-kecamatan pada saat sd. Aku
semakin sulit mengejarnya. Aku tak tahu seberapa jauh aku berlari, yang pasti
aku harus mendapatkan handphoneku. Di suatu tempat dia berhenti. Aku
menghampirinya dengan nafas yang terengah-engah.
“Kok berhenti! Kenapa gak lari lagi aja sih sekalian!
Puas kan!” teriakku dengan begitu kerasnya.
“Santai aja, Mba. nih Hpnya”, ucapnya sambil
tersenyum.
“Loh, maksud kamu apa sih! Bawa hp saya, terus
sekarang dikembalikan lagi. Ga ada kerjaan ya emangnya ......”, ucapanku
berhenti. Dia memegang dahuku, dan mengarahkannya ke segala arah di sekitarku.
Dia pun tersenyum. Seketika aku berkata, “Subhanallah”.
Tanpa aku sadari, aku telah berlari jauh dengannya
hingga tiba di sebuah taman yang penuh dengan bunga. Keadaannya yang amat
bersih dan asri membuatku terkesima tanpa batas. Aku tersenyum, terdiam,
menengadah ke arah langit biru. Sungguh, inilah salah satu keindahan atas
segala kekuasaanNya yang lain. Fatahmorgana alam yang begitu menyejukkan,
jutaan warna yang berbeda, hidup membentuk sebuah kesatuan yang begitu luar
biasa. Renunganku itu membuatku lupa akan segalanya untuk beberapa saat.
Setelah itu aku teringat kembali akan suatu hal.
“Mengapa kau membawaku kemari, Mas?” tanyaku pada
lelaki berkaos merah itu.
“Sudahlah, tak usah banyak tanya. Nikmati keindahan
dari Sang Pencipta ini”, ucapnya sambil tersenyum.Dia memegangku dan membawaku
lari. Dia tertawa, akupun tertawa. Aku tak tahu pasti mengapa aku tertawa,
mungkin karena di dalam hati kecilku tumbuh perasaan yang amat membahagiakan.
Dia membawaku berlari di sekitar taman, memetik banyak bunga yang
berwarna-warni.
“Tunggu, Mas. Saya belum shalat. Bisakah kita shalat
dahulu”, ucapku.
“Astagfirullohaladzim, saya pun lupa Mba. Baiklah kita
shalat terlebih dahulu. Di sekitar sini ada mesjid”, ucapnya dengan raut wajah
yang menyejukan hati.
Kami berjalan, melangkah di jalan yang penuh dengan
pohon. Daun beguguran diterpa angin yang bertiup dengan begitu lembutnya.
Kesejukan hati ini amat dapat kurasakan. Beberapa menit kami berjalan, kami pun
tiba di sebuah mesjid. Subhanallah, mesjid yang megah dan indah. Para jamaahnya
pun banyak, ada yang sedang membaca Al Qur’an, ada yang sedang duduk
beristirahat, dan masih banyak lagi. Kami pun shalat berjamaah di sana.
Seusai shalat, kami berjalan-jalan kembali. Sesekali
kami membeli dagangan yang ada di sekitar taman, seperti es krim, roti bakar,
dan yang lainnya. Tempat singgah yang terakhir yaitu di bawah pohon yang amat
rindang, di sebuah ayunan sederhana, kami duduk bersama.
“Mengapa kau mengajakku kemari?” tanyaku padanya.
“Tak apa, aku hanya ingin merasakan bisa dekat
denganmu saja”, jawabnya.
“Memangnya mengapa? Kau tak mengenalku bukan?”, tanya
ku kembali.
“Tentu saja tidak. Tapi saat aku melihat wajahmu,
sepertinya ada suatu hal yang kurasakan. Perasaan yang tak pernah kurasakan
sebelumnya”, jelasnya.
“Memangnya perasaan apa? Kamu itu memang aneh ya”,
ujarku.
“Ternyata kamu itu bawel ya. Tapi bikin asyik juga”
ucapnya tersenyum kembali.
“Maaf ya atas perlakuanku tadi”, ucapku menyesal.
“Sudahlah, tak usah terlalu difikirkan. Tak usah minta
maaf, ekspresi wajahmu saat kau kesal padaku bukan membuatku kesal padamu. Aku
malah ingin tersenyum sendiri bila mengingatnya”, ujarnya.
“Yah, gausah ngegombal lah. Eh iya, aku hampir lupa.
Aku kan sedang dalam perjalanan menuju Malang. Ya Allah, tasku masih di dalam
kereta. Pasti kereta telah meninggalkanku sejak tadi! Astagfirullohal’adzim”,
ucapku dengan mata yang berkaca-kaca. Aku pun berlari meninggalkan lelaki itu.
Dia memegang tanganku.
“Tak usah terburu-buru. Kamu masih punya waktu sekitar
satu jam lagi” ucapnya seakan menghiburku.
“Satu jam lagi? Bagaimana bisa? Kereta pasti sudah
berangkat dari tadi!” ucapku dengan nada cukup tinggi.“Memang sudah berangkat”
ujarnya malah tersenyum.
“Terus, aku gimana? Ini dimana? Bagaimana aku bisa
sampai ke Malang. Ditambah lagi barangku masih ada di kereta. Aku mau ke
stasiun sekarang”.
Akupun berlari meninggalkannya. Dia mengejarku, aku
berlari lebih kencang lagi sambil menangis. Aku takut, aku takut tak bisa
sampai menuju cita-cita yang kutuju. Lelaki berkaos merah itu berhasil
mengejarku.
“Mau kemana, Mba?” ucapnya khawatir.
“Tentu aku mau ke stasiun. Aku mau ke Malang. Kamu
siapa berani mencegahku? Kamu mau menculikku?” teriakku padanya.
“Ya Allah Mba. Sabarlah dulu”, ucapnya semakin
khawatir.
“Maaf Mas. Aku ketakutan”, ucapku kemudian terdiam.
“Tak usah takut Mba. Ada Allah SWT bersama Mba”,
ujarnya. Aku terdiam.
“Jangan
khawatir Mba. Barang Mba sudah saya bawa. Pemberangkatan menuju Malang akan
dimulai pukul 17.00. Tiket sudah saya pesankan. Nanti saya antarkan ke stasiun.
Untuk sekarang izinkan saya menemani Mba sebelum jadwal pemberangkatan dimulai.
Saya takut terjadi apa-apa pada Mba”, jelasnya dengan penuh perhatian.
“Benarkah?”, ucapku. Dalam tangisku aku tersenyum. Dia
sungguh lelaki yang baik. Aku tak tahu siapa dia, tapi aku bisa merasa nyaman
dengannya. Dia hanya mengangguk, setelah itu kami berjalan-jalan kembali ke
tempat yang lebih menakjubkan lagi. Hingga akhirnya, jam menunjukan pukul
16.45. Aku harus segera ke stasiun.
“Terima kasih ya Mba atas hari ini”, ucapnya dengan
wajah yang berseri-seri.
“Justru aku yang berterima kasih. Maaf telah
merepotkanmu”, ucapku.
Dia tak berkata apapun, hanya tersenyum kecil. Aku
berdiri di pintu kereta. Perlahan kereta berjalan. Dia memberikan sehelai
amplop, entah berisi apa. Senyumnya melebar. Aku semakin menjauh darinya.
Seketika aku lupa menanyakan suatu hal. “Siapa namamu?” teriakku. Dia menjawab,
namun tak terdengar olehku. Yang ada hanyalah tersirat senyum manis di bibirnya
yang seakan terus mengikutiku saat di dalam kereta kemudian merasuki fikiranku.
Aku melangkah menuju kursi dekat jendela kereta. Kubuka amplop yang dia
berikan. Isi dari amplop itu adalah foto-fotoku saat berdiri di dekat pintu
kereta. Ternyata memang benar, dia mengambil foto-fotoku. Aku tersenyum. Aku
bisa merasakannya, merasakan kehangatan tangannya, lembut suaranya, dan
senyuman menawan di wajahnya.
Perjalanan ini akan selalu kuingat, perjalanan
terindah di dalam hidupku. Sejak saat itu, aku semakin merasakan indahnya
hari-hariku. Aku tak tahu dia ada dimana. Yang pasti, untuk saat ini yang harus
aku lakukan adalah menggapai cita-citaku. menjadi kebanggaan orang tuaku dan
dapat menjadi manfaat bagi orang lain. Aku yakin, suatu saat dia akan datang
kembali. Entah kapan, tinggal menunggu waktu yang tepat dari Sang Pencipta.
Inilah keyakinan hatiku. Semoga kita dapat bertemu kembali, dengan kisah yang indah
dan diridhai olehNya, semoga...
Unsur-unsur
Intrinsik
1. Tema : Cinta / Kasih Sayang
2. Alur : Maju
Karena
peristiwa yang terjadi pada cerpen tersebut berjalan sesuai urutan waktu yang
maju tanpa adanya cerita tentang peristiwa Dia waktu yang sebelumnya/ yang
pernah terjadi sebelumnya.
3. Sudut Pandang : Orang pertama pelaku utama
Karena tokoh
yang ada pada cerpen tersebut berperan sebagai “aku” yang merupakan tokoh
utamanya.
4. Penokohan :
Adapun tokoh serta wataknya yang
terdapat pada cerpen tersebut adalah.
Ø Lily, dengan watak: baik/ solehah, keras kepala, terkadang mudah marah,
selalu bersikap suudzon.
Watak tersebut dapat dilihat pada beberapa kutipan
cerpen sebagai berikut:
Hari ini hari senin, sudah menjadi
amalan andalan kami untuk berpuasa setiap hari senin dan kamis.
Orang kota dengan gaya seperti itu
pastilah sombong, dan terkadang selalu menyakiti hati orang-orang yang
sederhana, apalagi perempuan sepertiku. Bila dia memang berlaku baik padaku,
dia pasti memiliki maksud yang tidak baik. Seperti apa yang dikatakan
orang-orang di sekitarku, dan juga sesuai dengan pengalaman pribadiku, bahwa
laki-laki yang terlihat angkuh namun memiliki wajah yang tampan, pastilah dia
selalu menyakiti hati seorang wanita.
Hati kecil ini
merenung, betapa kerasnya kehidupan mereka. Kulihat dompetku, tak begitu banyak
uang di sana. Kusisihkan sedikit saja, mungkin dapat membantu mereka. Mereka
tidak mungkin berbohong, kalaulah memang mereka berbohong, aku yakin bahwa
mereka membutuhkan uang dari orang lain. Sungguh hatiku tersentuh melihat anak
kecil itu.
“Kalau ga mau, gimana?”, ucapku sinis.
“Maaf ya mas, kalau bahaya ya biar
saja. Lagipula berbahaya buat saya, bukan buat Mas!” ucapku semakin sinis.
“Tapi mba..”
“Tapi apa?
Jangan paksa saya dong!” ucapku dengan lebih sinis lagi.
“Maaf Mba, silakan jika mau tetap
berdiri di situ. Tapi...”, ucapannya dipotong lagi olehku.
“Tapi apa?”
sentakku.
Ø Ibu, dengan watak perhatian dan penyayang.
Watak tersebut dapat dilihat dari
salah satu kutipan isi cerpen yaitu berupa dialog:
“Hati-hati ya kalau sudah di sana.
Terus hubungi ibu, takut terjadi apa-apa” ucap ibuku, sedikit khawatir.
Ø Ayah, dengan watak lemah lembut dan penyayang.
Watak tersebut dapat dilihat dari
salah satu kutipan dialog cerpen yaitu:
“Hati-hati ya Nak. Kalau ada apa-apa hubungi
ayah atau ibu. Banyak berdo’a di jalan. Musafir do’anya sangat mustajab. Kabari
ayah kalau sudah sampai”. ucap ayahku dengan lembutnya.
Ø Lelaki berbaju merah, dengan watak lemah lembut, penyayang, murah senyum,
sopan santun dan romantis.
Watak tersebut dapat dilihat dari
beberapa kutipan cerpen sebagai berikut:
“Mohon maaf sekali Mba, saya mau
lewat ke gerbong sebelah. Saya sudah ditunggu oleh teman saya. Sebentar saja
Mba, kalau saya sudah lewat, silakan kalau Mba mau berdiri lagi di situ”,
ucapnya dengan sopan.
“Makasih,
Mba” ucap lelaki itu sambil tersenyum.
“Sudahlah, tak usah terlalu
difikirkan. Tak usah minta maaf, ekspresi wajahmu saat kau kesal padaku bukan
membuatku kesal padamu. Aku malah ingin tersenyum sendiri bila mengingatnya”,
ujarnya.
“Tak usah
takut Mba. Ada Allah SWT bersama Mba”, ujarnya. Aku terdiam.
“Jangan
khawatir Mba. Barang Mba sudah saya bawa. Pemberangkatan menuju Malang akan
dimulai pukul 17.00. Tiket sudah saya pesankan. Nanti saya antarkan ke stasiun.
Untuk sekarang izinkan saya menemani Mba sebelum jadwal pemberangkatan dimulai.
Saya takut terjadi apa-apa pada Mba”, jelasnya dengan penuh perhatian.
5. Latar/ setting :
a. Tempat
Ø Di kamar, sesuai
dengan kutipan:
Ku terbangun dan langsung kubuka jendela kamarku.
Ø Di ruang makan, sesuai
dengan kutipan:
Aku berjalan
menuju ruang makan, kulihat ibu telah menyiapkan makan sahur.
Ø Di stasiun kereta, sesuai
dengan kutipan:
Kereta beberapa menit lagi
berangkat. Aku berlari dengan kencangnya bersama ayahku, membawa barang yang
cukup berat. Tepat di depan pintu kereta aku berdiri.
Ø Di taman bunga, sesuai
dengan kutipan:
Tanpa aku sadari, aku telah berlari
jauh dengannya hingga tiba di sebuah taman yang penuh dengan bunga.
Ø Di masjid, sesuai
dengan kutipan:
Beberapa menit kami berjalan, kami pun tiba di sebuah mesjid.
Ø Di bawah pohon, sesuai
dengan kutipan:
Tempat singgah yang terakhir yaitu
di bawah pohon yang amat rindang, di sebuah ayunan sederhana, kami duduk
bersama.
b. Waktu
Ø Dini hari, sesuai
dengan kutipan:
Mataku sedikit terbuka, pertanda
mimpi indah malam ini telah usai. Jam menunjukkan pukul 03.00.
Ø Pagi hari, sesuai
dengan kutipan:
Di pagi hari
yang cerah, pemandangan yang indah tentu sudah sangat cukup untuk menyegarkan
penglihatan ini.
Ø Siang hari, berdasarkan
kutipan:
Perjalanan masih jauh, aku belum shalat dzuhur. Biarlah, mungkin nanti bisa
diqashar.
Ø Sore hari,
berdasarkan kutipan:
Hingga akhirnya, jam menunjukan pukul 16.45. Aku harus segera ke stasiun.
c. Suasana
Ø Sunyi, sesuai
dengan kutipan:
Di kesunyian, alarm berbunyi.
Teralunkan musik merdu, terdengar bersemangat berjudul Sang Pemimpi.
Ø Nyaman, sesuai
dengan kutipan:
Asri, indah nan permai. Inilah salah
satu tanda kekuasaanNya. Sesekali ku beranjak dari tempat dudukku, melangkah
menuju pintu kereta. Angin berhembus, menerpa hijab biru mudaku, menggerakkan
bibirku hingga akhirnya dapat tersenyum refleks, tanpa sadar. Di depan mataku
terlihat sawah yang terhampar luas. Langit biru, bersama para awan dan juga
burung yang beterbangan semakin memperindah suasana ini.
Ø Indah, menakjubkan, sesuai dengan kutipan:
Aku tersenyum, terdiam, menengadah
ke arah langit biru. Sungguh, inilah salah satu keindahan atas segala
kekuasaanNya yang lain. Fatahmorgana alam yang begitu menyejukkan, jutaan warna
yang berbeda, hidup membentuk sebuah kesatuan yang begitu luar biasa.
Renunganku itu membuatku lupa akan segalanya untuk beberapa saat.
Ø Ramai, sesuai
dengan kutipan:
Subhanallah, mesjid yang megah dan
indah. Para jamaahnya pun banyak, ada yang sedang membaca Al Qur’an, ada yang
sedang duduk beristirahat, dan masih banyak lagi.
6. Gaya bahasa : hiperbola
Gaya bahasa yang digunakan kebanyakan
berupa gaya bahasa hiperbola, karena terdapat banyak kata yang sekan-akan
dilebih-lebihkan agar terasa lebih dari biasanya, contohnya dari beberapa
kutipan yaitu :
Tanpa aku
sadari, aku telah berlari jauh dengannya hingga tiba di sebuah taman yang penuh
dengan bunga. Keadaannya yang amat bersih dan asri membuatku terkesima tanpa
batas. Aku tersenyum, terdiam, menengadah ke arah langit biru. Sungguh, inilah
salah satu keindahan atas segala kekuasaanNya yang lain. Fatahmorgana alam yang
begitu menyejukkan, jutaan warna yang berbeda, hidup membentuk sebuah kesatuan
yang begitu luar biasa. Renunganku itu membuatku lupa akan segalanya untuk
beberapa saat.
7. Amanat :
Ø Jangan berprasangka buruk terlebih dahulu kepada orang lain sebelum kita
mengetahui kebenaran yang sebenarnya dari orang tersebut.
Dalam cerita ini diceritakan, Lily
merasa bahwa lelaki berkaos merah itu orang yang angkuh akan tetapi setelah
dekat dengan laki-laki tersebut, barulah dia merasa bersalah karena prasangka
buruknya itu ternyata salah.
Ø Jangan mudah marah kepada seseorang.
Diceritakan pada cerpen tersebut
bahwa Lily selalu mudah marah kepada lelaki yang ia temui di kereta. Pada
akhirnya, kemarahan hanya dapat membuatnya merasa malu dan merasa bersalah.
Ø Syukuri segala kekuasaan yang telah diberikan oleh Allah.
Di dalam cerpen tersebut
mengingatkan kita akan kekuasaan Allah yang ada di bumi. Kita harus bisa
menyukurinya karena kekuasaan itu merupakan suatu keindahan yang dapat kita rasakan secara langsung.
Ø Urusan cinta, hanya Allah yang tahu.
Dalam cerpen
tersebut, di akhir cerita tersirat bahwa Lily pada akhirnya harus berpisah
dengan seseorang yang dikaguminya. Walaupun begitu, dia yakin bahwa suatu saat
cinta itu akan datang kembali. Yang penting, cita-cita dan mimpi-mimpi indah
kita harus bisa kita capai.
Unsur-unsur
Ekstrinsik
1. Nilai yang terkandung pada cerpen
Ø Nilai sosial
Interaksi atau komunikasi harus bisa dilakukan dengan
baik agar tidak ada kesalahfahaman, contohnya yaitu yang diami oleh Lily dan
lelaki berkaos merah yang beberapa kali mengalami kesalahfahaman.
Ø Nilai agama
Rasa suudzon seharusnya dihilangkan terlebih dahulu
bila memang tidak mengetahui kenyataannya. Suudzon ini telah terjadi pada
cerpen di atas yaitu dari Lily ke lelaki berkaos merah
Ø Nilai moral
Bersikap sopan sudah menjadi salah
satu norma yang berlaku di lingkungan yang diceritakan pada cerpen. Salah satu
contohnya yaitu berkata dengan lemah lembut dan selalu tersenyum
2. Lingkungan pengarang
Sesuai dengan cerpen yang ditulis
pengarang, kemungkinan keadaan lingkungan dari pengarang yaitu kehidupan yang
religius, penuh norma dan sopan santun, serta kehidupan yang indah dengan
suasananya.
3. Latar belakang pengarang
Cerpen “Perjalanan Terindah” ini
disusun oleh seorang pelajar asal Garut yang bernama Zulfa Fadila. Lahir di
Garut tanggal 27 Oktober 1996 dari sepasang orang tua yang bernama Drs. Agus
Juanda dan Ika Supartika. Zulfa merupakan anak kelima dari sembilan bersaudara.
Saat ini masih menjalani pendidikan di SMAN 2 Garut semester akhir. Zulfa
merupakan alumni dari SMPN 1 Leles, SDN Leles 1 dan TK Pelita.
Zulfa bukan seorang penulis pada
umumnya, dia hanya pelajar biasa. Hanya saja menulis sudah mulai menjadi
hobinya saat di SMA, namun tidak begitu diperdalam. Zulfa hanya menyalurkan hobinya
melalui cerita-cerita pendek yang ditulis pada entri blognya yang berjudul
“Sebening Ketulusan Hati”. Dia aktif di beberapa organisasi di SMA namun tidak
mempunyai prestasi yang begitu banyak. Harapannya untuk saat ini yaitu bisa
melewati masa transisinya di kelas XII SMA, bisa melaksanakan UN dengan sukses,
serta bisa diterima di perguruan tinggi negeri favoritnya yaitu di ITB jurusan
teknik fisika. Untuk saat ini, dia belum bisa meneruskan posting atau berbagi
cerita yang lainnya karena fokus akan tujuan jangka pendeknya saat ini.
Ringkasan
Cerita
Lily, seorang wanita yang solehah
serta taat pada kedua orangnya tinggal di sebuah kota yang sederhana.Dia
mendapatkan beasiswa untuk meneruskan pendidikannya ke Perguruan tinggi negeri
yang ada di Malang. Dia berangkat sendiri ke Malang dengan menggunakan kereta
api. Saat di jalan, dia bertemu dengan lelaki berkaos merah yang dia sangka
bahwa laki-laki itu adalah lelaki asal kota yang amat angkuh. Sikap sinis dan
pemarahnya mulai ia munculkan kepada lelaki itu.
Namun ternyata lelaki itu tidak
seburuk yang difikirkan oleh Lily. Lelaki itu bahkan amat baik, ramah, dan
sopan serta perhatian. Saat kereta berhenti, lelaki itu membawa Lily ke
berbagai tempat yang indah dan tak disangka. Seharian mereka menghasbiskan
waktu bersama. Satu hal yang amat disayangkan, mereka bisa saling dekat namun
itu hanya sementara.
Setiap pertemuan tentu akan ada
perpisahan. Mereka berpisah pada sore hari karena Lily harus meneruskan
perjalanannya menuju Malang untuk menggapai cita-citanya. Walaupun lelaki
berkaos merah itu tidak ia kenal, tapi dia bisa merasakan cinta yang tak biasa.
Akhir yang tak begitu indah, mereka saling berpisah dalam keadaan tidak tahu
nama masing-masing. Namun Lily yakin bahwa lelaki itu akan datang kembali
dengan jalan Allah yang mungkin lebih indah dari perjalanan terindah yang dia
lewati hari itu.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus